Perkembangan Islam di Indonesia

A. MASUKNYA ISLAM DI INDONESIA  
Menurut hasil seminar “Masuknya Islam di Indonesia,” pada tanggal 17-20 Maret 1963 di Medan yang dihadiri oleh sejumlah budayawan sejarawan Indonesia, disebutkan bahwa agama Islam masuk ke Indonesia pertama kali pada abad pertama Hijriah (kira-kira abad 8 Masehi).

Islam masuk ke Indonesia melalui dua jalur, yaitu:

  • Jalur utara, dengan rute: Arab (Mekah dan Madinah) – Damaskus – Bagdad – Gujarat (Pantai Barat India) – Srilangka – Indonesia
  • Jalur selatan, dengan rute: Arab (Mekah dan Madinah) – Yaman – Gujarat – Srilangka – Indonesia
Daerah pertama dari kepulauan Indonesia yang dimasukin Islam adalah pantai Sumatera bagian utara.

Berawal dari daerah itulah Islam mulai menyebar ke berbagai pelosok Indonesia, yaitu: wilayah-wilayah Pulau Sumatera (selain pantai Sumatera bagian utara), Pulau Jawa, Pulau Sulawesi, Pulau Kalimantan, Kepulauan Maluku dan sekitarnya, dalam kurun waktu yang berbeda-beda. Hal itu disebabkan antara lain sebagai berikut:
  • Adanya dorongan kewajiban bagi setiap Muslim/Muslimah, khususnya para ulamanya, untuk berdakwah mensyiarkan Islam sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing.
  • Adanya kesungguhan hati dan keuletan para juru dakwah untuk berdakwah secara terus-menerus kepada keluarga, para tetangga, dan masyarakat sekitarnya.
  • Persyaratan untuk memasuki Islam sangat mudah, seseorang telah dianggap masuk Islam hanya dengan mengucapkan dua kalimat syahadat.
  • Ajaran Islam tentang persamaan dan tidak adanya sistem kasta dan diskriminasi mudah menarik simpati rakyat, terutama dari lapisan bawah.
  • Banyak raja-raja Islam yang ada di berbagai wilayah Indonesia ikut berperan aktif melaksanakan kegiatan dakwah islamiah, khususnya terhadap rakyat mereka.

B. PERKEMBANGAN ISLAM DI INDONESIA  

Berikut ini perkembangan Islam di Indonesia.

1. Sumatera

Daerah yang dimasuki Islam dari kepulauan Indonesia adalah Sumatera bagian utara, seperti Pasai dan Perlak. Karena wilayah Sumatera bagian Utara letaknya di tepi Selat Malaka, tempat lalu lintas kapal-kapal dagang dari India ke Cina.

Para pedagang dari India, yakni bangsa Arab, Persi, dan Gujarat, yang juga para mubalig Islam, banyak yang menetap di Bandar-bandar sepanjang Sumatera Utara. Mereka menikah dengan wanita-wanita pribu yang sebelumnya telah diislamkan, sehingga terbentuknya keluarga Muslim. Mereka mensyiarkan Islam dengan cara bijaksana, baik dengan lisan maupun sikap dan perbuatan, terhadap sanak famili, para tetangga, dan masyarakat sekitarnya.

Hingga akhirnya berdiri kerajaan Islam pertama, yaitu Samudra Pasai. Kerajaan ini berdiri pada tahun 1261 M, di pesisir timur Laut Aceh Lhokseumawe (Aceh Utara), rajanya bernama Merah Silu, bergelar Sultan Al-Malik As-Saleh. Beliau menikah dengan putrid Raja Perlak yang memeluk agama Islam.

Samudra Pasai makin berkembang dalam bidang politik, ekonomi, dan kebudayaan. Seiring dengan kemajuan kerajaan Samudra Pasai yang sangat pesat, pengembangan agama Islam pun mendapat perhatian dan dukungan penuh. Samudra Pasai terkenal dengan sebutan Serambi Mekah.

2. Jawa

Penemuan nisan makam Siti Fatimah binti Maimun di daerah Leran/Gresik yang wafat tahun 1101 M dijadikan tonggak awal kedatangan Islam di Jawa. Hingga pertengahan abad ke-13, bukti-bukti kepurbakalaan maupun berita-berita asing tentang masuknya Islam di Jawa sangatlah sedikit. Baru sejak akhir abad ke-13 M hingga abad-abad berikutnya, terutama sejak Majapahit mencapai puncak kejayaannya, bukti-bukti proses pengembangan Islam ditemukan lebih banyak lagi. Misalnya, penemuan kuburan Islam di Troloyo, Trowulan, dan Gresik, juga berita Ma Huan (1416 M) yang menceritakan tentang adanya orang-orang Islam yang bertempat tinggal di Gresik.

Pertumbuhan masyarakat Muslim di sekitar Majapahit sangat erat kaitannya dengan perkembangan hubungan pelayaran dan perdagangan yang dilakukan orang-orang Islam yang telah memiliki kekuatan politik dan ekonomi di Kerajaan Samudra Pasai dan Malaka. Pengembangan Islam di tanah Jawa dilakukan oleh para ulama dan mubalig yang kemudian terkenal dengan sebutan Wali Sanga (sembilan wali).

1. Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik

Maulana Malik Ibrahim merupakan wali tertua di antara Wali Sanga yang mensyiarkan agama Islam di Jawa Timur, sehingga dikenal pada dengan nama Sunan Gresik. Maulana Malik Ibrahim menetap di Gresik dengan mendirikan masjid dan pesantren, tempat mengajarkan Islam kepada para santri dan kepada para penduduk agar menjadi umat Islam yang bertakwa. Beliau wafat pada tahun 1419 M (882 H) dan dimakamkan di Gapura Wetan, Gresik.

2. Sunan Ampel

Sunan Ampel nama aslinya adalah Raden Rahmat. Lahir pada tahun 1401 M dan wafat pada tahun 1481 M serta dimakamkan di di desa Ampel. Sunan Ampel menikah dengan seorang putri Tuban bernama Nyi Ageng Manila dan dikaruniai empat orang anak, yaitu: Maulana Makdum Ibrahim (Sunan Bonang), Syarifuddin (Sunan Drajat), Nyi Ageng Maloka, dan putri yang menjadi istri Sunan Kalijaga.

Jasa-jasa Sunan Ampel antara lain:

  • Mendirikan pesantren di Ampel Denta, dekat Surabaya.
  • Berperan aktif dalam membangun masjid agung Demak, yang dibangun pada tahun 1479 M.
  • Memelopori berdirinya kerajaan Islam Demak dan ikut menobatkan Raden Fatah sebagai sultan pertamanya.

3. Sunan Bonang

Sunan Bonang nama aslinya adalah Maulana Makdum Ibrahim, putra Sunan Ampel. Lahir pada tahun 1465 M dan wafat tahun 1515 M. semasa hidupnya beliau mempelajari Islam dari ayahnya sendiri, kemudian bersama Raden Paku merantau ke Pasai untuk mendalami Islam. Jasa beliau sangat besar dalam penyiaran Islam.

4. Sunan Giri (1365-1428)

Beliau adalah seorang wali yang sangat besar pengaruhnya di Jawa, terutama di Jawa Timur. Ayahnya, Maulana Ishak, berasal dari Pasai dan ibunya, Sekardadu, putri Raja Blambangan Minak Sembayu. Belajar Islam di pesantren Ampel Denta dan Pasai.

Sunan Giri (Raden Paku) mendirikan pesantren di Giri, kira-kira 3 km dari Gresik. Selain itu, beliau mengutus para mubalig untuk berdakwah ke daerah Madura, Bawean, Kangean, bahkan ke Lombok, Makassar, Ternate, dan Tidore.

5. Sunan Drajat

Nama aslinya adalah Syarifuddin, putra Sunan Ampel dan adik Sunan Bonang. Beliau berjasa dalam mensyiarkan Islam dan mendidik para santri sebagai calon mubalig.

6. Sunan Gunung Jati

Sunan Gunung Jati lebih dikenal dengan sebutan Syarif Hidayatullah. Beliau berjasa dalam menyebarkan Islam di Jawa Barat dan berhasil mendirikan dua buah kerajaan Islam, yakni Banten dan Cirebon. Syarif Hidayatullah wafat pada tahun 1570 M dan dimakamkan di Gunung Jati (7 km sebelah utara Cirebon).

7. Sunan Kudus

Nama aslinya adalah Ja’far Sadiq, lahir pada pertengahan abad ke-15 dan wafat pada tahun 1550 M (960 H). Beliau berjasa dalam menyebarkan Islam di daerah Kudus dan sekitarnya, Jawa Tengah bagian utara. Sunan Kudus membangun sebuah masjid yang terkenal sebagai Masjid Menara Kudus. Sunan Kudus juga terkenal sebagai seorang sastrawan, di antara karya sastranya yang terkenal adalah gending Maskumambang dan Mijil.

8. Sunan Kalijaga

Nama aslinya adalah Raden Mas Syahid, salah seorang Wali Sanga yang terkenal karena berjiwa besar, toleran, dan juga pujangga. Beliau adalah seorang mubalig yang berdakwah sambil berkelana. Di dalam dakwahnya Sunan Kalijaga sering menggunakan kesenian rakyat (gamelan, wayang, serta lagu-lagu daerah). Belau wafat pada akhir ke-16 dan dimakamkan di desa Kadilangu sebelah timur laut kota Demak.

9. Sunan Muria

Nama aslinya Raden Umar Said, putra dari Sunan Kalijaga. Beliau seorang mubalig yang berdakwah ke pelosok-pelosok desa dan daerah pegunungan. Di dalam dakwahnya beliau menggunakan sarana gamelan serta kesenian daerah lainnya. Beliau dimakamkan di Gunung Muria, yang terletak di sebelah utara kota Kudus.

3. Sulawesi
Menurut berita Tom Pires, pada awal abad ke-16 di Sulawesi banyak kerajaan-kerajaan kecil yang sebagian masih memeluk kepercayaan Animisme dan Dinamisme. Di antara kerajaan-kerajaan itu yang paling terkenal dan besar adalah kerajaan Gowa Tallo, Bone, Wajo, dan Sopang.

Pada tahun 1562-1565 M, di bawah pimpinan Raja Tumaparisi Kolama, kerajaan Gowa Tallo berhasil menaklukkan daerah Selayar, Bulukumba, Maros, Mandar, dan Luwu. Pada masa itu, di Gowa Tallo telah terdapat kelompok-kelompok masyarakat Muslim dalam jumlah yang cukup besar. Atas jasa Dato Ribandang dan Dato Sulaemana, penyebaran dan pengembangan Islam lebih intensif dan mendapat kemajuan yang pesat. Pada tanggal 22 September 1605 Raja Gowa yang bernama Karaeng Tonigallo masuk Islam yang kemudian bergelar Sultan Alaudin. Beliau berhubungan baik dengan Ternate, bahkan secara pribadi beliau bersahabat baik dengan Sultan Babullah dari Ternate.

Setelah resmi menjadi kerajaan bercorak Islam, Gowa melakukan perluasan kekuasaannya. Daerah Wajo dan Sopeng berhasil ditaklukkan pada tahun 1611 M. Sejak saat itu Gowa menjadi pelabuhan transit yang sangat ramai.

4. Kalimantan

Sebelum Islam masuk ke Kalimantan, di Kalimantan Selatan terdapat kerajaan-kerajaan Hindu yang berpusat di negara Dipa, Daha, dan Kahuripan yang terletak di hulu sungai Nagara dan Amuntai Kimi. Kerajaan-kerajaan ini sudah menjalin hubungan dengan Majapahit, bahkan salah seorang raja Majapahit menikah dengan Putri Tunjung Buih. Hal tersebut tercatat dalam Kitab “Negara Kertagama” karya Empu Prapanca.

Menjelang kedatangan Islam, Kerajaan Daha diperintah oleh Maha Raja Sukarana. Setelah beliau meninggal digantikan oleh Pangeran Tumenggung. Hal ini menimbulkan kemelut keluarga, karena Pangeran Samudra (cucu Maha Raja Sukarama) merasa lebih berhak atas takhta kerajaan. Akhirnya Pangeran Samudra dinobatkan menjadi Raja Banjar oleh para pengikut setianya, yang membawahi daerah Masik, Balit, Muhur, Kuwin dan Balitung, yang terletak di hilir sungai Nagara.

Berdasarkan hikayat Banjar, Pangeran Samudra meminta bantuan Kerajaan Demak (Sultan Trenggono) untuk memerangi Kerajaan Daha, dengan perjanjian apabila Kerajaan Daha dapat dikalahkan maka Pangeran Samudra beserta rakyatnya bersedia masuk Islam. Ternyata berkat bantuan tentara Demak, Pangeran Tumenggung dari Kerajaan Daha dapat ditundukkan sesuai dengan perjanjian, akhirnya Raja Banjar, Pangeran Samudra beserta segenap rakyatnya masuk Islam dan bergelar Sultan Suryamullah. Menurut A.A Cense dalam bukunya, “De Kroniek van Banjarmasin 1928,” peristiwa itu terjadi pada tahun 1550 M.

5. Maluku dan Sekitarnya

Antara tahun 1400-1500 M (abad ke-15) Islam telah masuk dan berkembang di Maluku, dibawa oleh para pedagang Muslim dari Pasai, Malaka, dan Jawa. Mereka yang sudah beragama Islam banyak yang pergi ke pesantren-pesantren di Jawa Timur untuk mempelajari Islam.

Raja-raja di Maluku yang masuk Islam di antaranya:

  1. Raja Ternate, yang kemudian bergelar Sultan Mahrum (1465-1486). Setelah beliau meninggal, digantikan oleh Sultan Zaenal Abidin yang besar jasanya dalam mensyiarkan Islam di kepulauan Maluku dan Irian, bahkan sampai ke Filipina.
  2. Raja Tidore, yang kemudian bergelar Sultan Jamaludin.
  3. Raja Jailolo, yang berganti nama dengan Sultan Hasanuddin.
  4. Raja Bacan, yang masuk Islam pada tahun 1520 dan bergelar Sultan Zaenal Abidin.
Selain Islam masuk dan berkembang di Maluku, Islam juga masuk ke Irian. Daerah-daerah Irian Jaya yang dimasuki Islam adalah Miso, Jalawati, Pulau Waigio dan Pulau Gebi.

C. HIKMAH PERKEMBANGAN ISLAM DI INDONESIA

 

1. Masa Penjajahan

a. Peranan Umat Islam pada Masa Penjajahan


Dengan dianutnya agama Islam oleh mayoritas masyarakat Indonesia, ajaran Islam telah banyak mendatangkan perubahan. Perubahan-perubahan itu antara lain:

  • Masyarakat Indonesia dibebaskan dari pemujaan berhala dan pendewaan raja-raja serta dibimbing agar menghambakan diri kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa.
  • Rasa persamaan dan rasa keadilan yang diajarkan Islam, (lihat Q.S. An-Nahl: 90), mampu mengubah masyarakat Indonesia yang dulunya menganut system kasta dan diskriminasi menjadi masyarakat yang setiap anggotanya mempunyai kedudukan, harkat, martabat, dan hak-hak yang sama.
  • Semangat cinta tanah air dan rasa kebangsaan yang didengungkan Islam dengan semboyan “Habbul Watan Minal-Iman” (cinta tanah air sebagian dari iman) mampu mengubah cara berpikir masyarakat Indonesia, khususnya para pemuda, yang dulunya bersifat sekatrian (lebih mementingkan sukunya dan daerahnya) menjadi bersifat nasionalis (lebih mengutamakan kepentingan bangsa dan negara).
  • Semboyan yang diajarkan Islam yang berbunyi “Islam adalah agama yang cinta damai, tetapi lebih cinta kemerdekaan” telah mampu mendorong masyarakat Indonesia untuk melakukan usaha-usaha mewujudkan kemerdekaan bangsanya dengan berbagai cara.
Allah SWT berfirman, “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas,” (Q.S. Al-Baqarah: 190).

Menurut islam, berperang dalam rangka mewujudkan dan mempertahankan kemerdekaan bangsa, negara, dan agama merupakan “Jihad bi sabilillah” yang hukumnya wajib. Sedangkan umat Islam yang mati dalam “Jihad fi sabilillah” tersebut dianggap mati syahid, yang imbalannya adalah surga.

b. Perlawanan Kerajaan Islam dalam Menentang Penjajahan

1) Perlawanan terhadap Penjajah Portugis

Bangsa Portugis datang dari Eropa Barat ke Dunia Timur, termasuk Indonesia, dengan semboyan “gold (tambang emas), glory (kemuliaan, keagungan), dan gospel (penyebaran agama Nasrani).”

Bangsa Portugis melakukan berbagai usaha dengan menghalalkan segala cara. Antara lain pada tahun 1511 mereka merebut Bandar Malaka, yang waktu itu berada di bawah kekuasaan Sultan Mahmud Syah (1488 – 1511).

Sikap bangsa Portugis yang kasar dan angkuh, yang bermaksud merebut kekuasaan dan memaksakan kemauannya dalah perdagangan, menyebabkan kerajaan-kerajaan Islam yang ada di Indonesia bangkit untuk memberikan perlawanan mengusir penjajah Portugis dari bumi Nusantara.

Pada tahun 1526 bala tentara Demak di bawah pimpinan panglima perang Fatahillah berangkat melalui jalan laut menuju Sunda Kelapa untuk mengusir penjajah Portugis. Setibanya di Sunda Kelapa, Fatahillah dan bala tentaranya mengepung Sunda Kelapa dan terjadilah pertempuran sengit melawan penjajah Portugis. Dalam pertempuran ini Fatahillah dan bala tentaranya memperoleh kemenangan. Sunda Kelapa direbut dari tangan penjajah. Kemudian Sunda Kelapa diganti namanya menjadi Jayakarta (Jakarta). Peristiwa ini terjadi pada tanggal 22 Juni 1527 M yang kemudian ditetapkan sebagai hari lahirnya kota Jakarta. Portugis dan Spanyol mengadakan Perjanjian Tordesilas (1529) yang isinya:
  • Maluku menjadi milik Portugis
  • Filipina Selatan menjadi milik Spanyol
2) Perlawanan terhadap Penjajah Belanda

Bangsa Indonesia kembali dijajah oleh bangsa Belanda, yang untuk pertama kali berlabuh di Banten pada tahun 1596 dipimpin oleh Cornelis de Houtman. Tujuan kedatangan Belanda ke Indonesia sama dengan tujuan penjajah Portugis, yakni untuk memaksakan praktik monopoli perdagangan dalam menanamkan kekuasaan terhadap kerajaan-kerajaan yang ada di wilayah Nusantara. Penjajah Belanda menempuh berbagai usaha dan menghalalkan segala cara. Misalkan, menerapkan politik Divide et Impera, muslihat damai, mengeruk kekayaan sebanyak-banyaknya dari bumi Nusantara untuk membangun bangsanya, dan membiarkan rakyat Indonesia berada dalam kemiskinan dan keterbelakangan.

Sejarah mencatat dengan tinta emas, sederetan nama para pejuang kusuma bangsa yang menderita, bahkan berkorban jiwa dalam berperang melawan penjajah Belanda, demi tegaknya kemerdekaan bangsa dan negara tercinta Indonesia.

Di pulau Jawa nama-nama tersebut antara lain: Sultan Ageng Tirtayasa, Kyai Tapa dan Bagus Buang dari Kesultanan Banten, Sultan Ageng dari Kesultanan Mataram, dan Pangeran Diponegoro dari Kesultanan Yogyakarta.

Dari Kesultanan Aceh kita bisa mengenal sederetan nama para panglima perang Islam, seperti: Panglima Polim, Panglima Ibrahim, Teuku Cek Ditiro, Cut Nyak Dien, Habib Abdul Rahman, Imam Leungbatan, dan Sultan Alaudin Muhammad Daud Syah.

Dari Maluku, yakni dari Kesultanan Ternate dan Tidore, tercatat nama-nama para pejuang kusuma bangsa seperti Saidi, Sultan Jamaluddin, dan Pangeran Neuku.

Dari Sulawesi Selatan, yakni dari kerajaan Gowa-Tallo dan Bone, terkenal nama pahlawan bangsa seperti Sultan Hasanuddin dan Lamadu Kelleng yang bergelar Arung Palaka.

Sedangkan dari Kalimantan Selatan, rakyat yang mengalami penderitaan dan kesengsaraan akibat pajak yang tinggi dan kewajiban kerja paksa serempak mengangkat senjata di bawah pimpinan para panglima perang, seperti: Pangeran Antasari, Kyai Demang Lemam, Berasa, Haji Masrin, Haji Bayasin, Kyai Langlang, Pangeran Hidayat, Pangeran Maradipa, dan Tumenggung Mancanegara.

Demikianlah nama-nama para pahlawan Islam sebagai para pejuang kusuma bangsa dari berbagai kepulauan di Nusantara, yang telah berperang melawan imperialism Belanda. Sayangnya, perlawanan mereka dapat dipatahkan oleh penjajah Belanda. Hal ini disebabkan antara lain karena perlawanan mereka lebih bersifat lokal regional sporadis (tidak merata) dan kurang terkoordinasi serta persenjataan pihak kaum imperialis jauh lebih canggih.

2. Masa Perang Kemerdekaan

a. Peranan Ulama Islam Pada Masa Perang Kemerdekaan

Peranan ulama Islam Indonesia pada masa perang kemerdekaan ada dua macam:
  • Membina kader umat Islam, melalui pesantren dan aktif dalam pembinaan masyarakat.
  • Turut bejuang secara fisik sebagai pemimpin perang.
Para pahlawan Islam yang telah berjuang melawan imperialis Portugis dan Belanda, seperti: Fatahillah, Sultan Baabullah, Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, dan Habib Abdurrahman, adalah juga para ulama yang beriman dan bertakwa, yang berakhlak baik dan bermanfaat bagi orang banyak sehingga mereka menjadi panutan umat.

b. Peranan Organisasi dan Pondok Pesantren Pada Masa Perang Kemerdekaan

Organisasi-organisasi tersebut adalah:

1. Serikat Dagang Islam/Serikat Islam

Serikat Dagang Islam didirikan oleh Haji Samanhudi dan Mas Tirta Adisuryo pada tahun 1905 di Kota Solo. Tujuan organisasi ini pada awalnya adalah menggalang kekuatan para pedagang Islam melawan monopoli pedagang Cina (yang mendapat perlakuan istimewa dari penjajahan Belanda) dan memajukan agama Islam.

Pada tahun 1912 Serikat Dagang Islam diubah menjadi Serikat Islam (SI), bertujuan bukan hanya untuk memajukan para pedagang Islam, tetapi lebih luas lagi, yaitu untuk menghapus penderitaan, penghinaan, dan ketidakadilan yang menimpa seluruh rakyat Indonesia akibat ulah penjajahan Belanda.

Pada tahun 1914 telah berdiri 56 perkumpulan lokal Serikat Islam yang telah resmi berbentuk badan hukum yang tersebar di kota-kota besar di Indonesia. Untuk menyeragamkan gerak dan langkah, pada tanggal 18 Maret 1916 dibentuk wadah Serikat Islam Sentral, yang diketuai oleh Haji Omar Said Cokroaminoto.

Pada bulan Juni 1916 Serikat Islam mengadakan kongresnya yang pertama yang dinamai Kongres Nasional Serikat Islam. Di dalam kongres itu dijelaskan bahwa istilah “Nasional” digunakan untuk mempertegas bahwa Serikat Islam mencita-citakan adanya suatu “Nation” bagi rakyat Indonesia (baca penduduk pribumi).

Pada tahun 1923 Sentral Serikat Islam mengubah namanya menjadi Partai Serikat Islam (PSI). Gagasan gerakan Islam Internasional ini dikemukakan oleh Kyai Haji Agus Salim, dengan nama pan-Islamisme.

2. Muhammadiyah

Organisasi Islam Muhammadiyah didirikan di kota Yogyakarta oleh K.H. Ahmad Dahlan pada tanggal 18 November 1912. Peranan Muhammadiyah pada masa penjajahan Belanda lebih dititikberatkan pada usaha-usaha mencerdaskan rakyat Indonesia dan meningkatkan kesejahteraan mereka, yakni dengan mendirikan sekolah-sekolah, baik sekolah umum maupun sekolah agama, rumah sakit, panti asuhan, rumah-rumah penampungan bagi warga miskin dan perpustakaan-perpustakaan.

Pada tahun 1925, tidak lama setelah pendirinya, K.H. Ahmad Dahlan wafat, Muhammadiyah sudah tersebar di semua kota besar di seluruh Indonesia serta berhasil membangun dan mengelola 1774 buah sekolah, 31 buah perpustakaan, 834 masjid, puluhan rumah sakit, panti asuhan, dan rumah-rumah penampungan bagi warga miskin.

3. Nahdlatul Ulama (NU)

NU didirikan di Surabaya pada tanggal 31 Januari 1926. Dua tokoh penting dalam upaya pembentukan NU adalah K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. Wahab Hasbullah.

Pada masa penjajahan Belanda, NU senantiasa berjuang menentang penjajah dan pernah mengeluarkan pernyataan politik yang isinya:
  • Menolak kerja rodi yang dibebankan oleh penjajah kepada rakyat.
  • Menolak rencana ordonansi (peraturan pemerintah) tentang perwakinan tercatat.
  • Menolak diadakannya Milisi (wajib militer).
  • Menyokong GAPI dalam menuntut Indonesia yang memiliki parlemen kepada pemerintah colonial Belanda.

4. Pondok Pesantren

Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia, yang penyelenggaraan pendidikannya bersifat tradisional dan sederhana. Mata pelajaran yang diajarkan di pesantren adalah: Ilmu Tauhid, Fikih Islam, Akhlak, Ushul Fikih, Nahwu, Saraf, dan Ilmu Mantik. Sumber pelajaraannya, biasanya kitab-kitab berbahasa Arab yang tidak berharakat atau gundul, yang biasa disebut dengan “Kitab Kuning”.

3. Masa Pembangunan

a. Peranan Umat Islam pada Masa Pembangunan

Dalam usaha mempertahankan kemerdekaan negara Republik Indonesia, umat Islam yang merupakan mayoritas penduduk, tampil di barisan terdepan dan perjuangan, baik perjuangan fisik (berperang) maupun perjuangan diplomasi. Di tahun-tahun awal kelahirannya sebagai negara yang merdeka dan berdaulat, bangsa Indonesia harus menghadapi Jepang (September 1945), negara Sekutu (November 1945 – Maret 1946), dan Belanda (Agresi Belanda I pada 21 Juli 1947 dan Agresi Belanda II pada 19 Desember 1948).

Selain itu, kemerdekaan negara Republik Indonesia dipertahankan melalui usaha-usaha diplomatic, yaitu perundingan antara Indonesia dan Belanda, misalnya: perundingan Linggarjati (November 1946), perjanjian Renville (Desember 1947), perjanjian Roem Royen (April 1949), dan Konferensi Meja Bundar di Den Haag (2 November 1949).

b. Peranan Organisasi Islam dalam Masa Pembangunan
Organisasi Islam yang ada pada masa pembangunan ini cukup banyak, antara lain: Muhammadiyah; Nahdlatul Ulama (NU); Himpunan Mahasiswa Islam (HIM), berdiri tahun 1947 di Yogyakarta; Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), berdiri pada 17 April 1960 dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) berdiri pada 26 Juli 1975.

Muhammadiyah
Peranan Muhammadiyah dalam masa pembangunan antara lain:
  • Melakukan usaha-usaha agar masyarakat Indonesia berilmu pengetahuan tinggi, berbudi luhur, dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
  • Melakukan usaha-usaha di bidang kesehatan dan kesejahteraan masyarakat, antara lain mendirikan Rumah Sakit, Poliklinik, BKIA (Balai Kesehatan Ibu dan Anak), Panti Asuhan, dan Pos Santunan Sosial.
Nahdlatul Ulama
Nahdlatul Ulama, yang pernah berkiprah di bidang politik, dalam perkembangan selanjutnya melalui Munas NU pada tanggal 18 – 21 Desember 1984 di Situbondo, dengan tegas menyatakan bahwa NU meninggalkan aktivitas politik dan kembali ke khittah (tujuan dasar). Usaha-usaha NU antara lain:
  • Mendirikan madrasah-madrasah, seperti Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah, dan Perguruan Tinggi.
  • Mendirikan, mengelola, dan mengembangkan pesantren-pesantren.
  • Membantu dan mengurusi anak-anak yatim dan fakir miskin.
MUI
Majelis Ulama Indonesia adalah organisasi keulamaan yang bersifat independen, tidak berafiliasi kepada salah satu aliran politik, mazhab atau aliran keagamaan Islam yang ada di Indonesia.

Ada peranan Majelis Ulama Indonesia pada masa pembangunan adalah:
  • Memberikan fatwa dan nasihat keagamaan dalam masalah sosial kemasyarakatan kepada pemerintah dan umat Islam pada umumnya, sebagai amar ma’ruf nahi mungkar dalam usaha meningkatkan ketahanan nasional.
  • Memperkuat Ukhuwah Islamiah dan melaksanakan kerukunan antarumat beragama dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan nasional.
  • MUI adalah penghubung antara Ulama dan Umara serta menjadi penerjemah timbale-balik antara pemerintah dan umat Islam Indonesia guna menyukseskan pembangunan nasional.
c. Peranan Lembaga Pendidikan Islam dalam Pembangunan
Lembaga pendidikan Islam adalah badan yang berhubungan dengan pendidikan Islam untuk memenuhi kebutuhan umatnya di bidang pendidikan. Lembaga-lembaga pendidikan Islam di Indonesia ada yang didirikan dan dikelola langsung oleh pemerintah (Departemen Agama), seperti: Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN), Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN), Madrasah Aliyah Negeri (MAN), dan Institut Agama Islam Negeri (IAIN). IAIN sekarang berubah menjadi UIN (Unversitas Islam Negeri) yang tidak hanya mendalami ilmu tentang keislaman, seperti Fakultas Syariah dan Ushuluddin, tetapi juga mendalami ilmu pengetahuan umum, seperti Fakultas Ekonomi dan Fakultas Kedokteran.

Adapun peranan-peranan kelembagaan Islam dalam pembangunan antara lain:
  • Melakukan usaha-usaha agar masyarakat Indonesia bertakwa pada Tuhan Yang Maha Esa.
  • Menumbuhkan kesadaran berbangsa dan bernegara.
  • Memupuk persatuan dan kesatuan umat.
  • Mencerdaskan bangsa Indonesia.
  • Mengadakan pembinaan mental spiritual
Powered by Blogger.